Dipublika.id – Tidak semua luka bisa sembuh dengan waktu. Ada yang tetap tinggal, menyesakkan dada, menjadi pengingat bahwa kehilangan tidak selalu bisa tergantikan.
Kisah ini datang dari seorang perempuan bernama Intan Bolota, yang 13 tahun lalu ditinggalkan ibunya tanpa sepatah kata.
Saat itu, ia baru kelas 6 SD, sementara adiknya masih begitu kecil. Mereka berdua masih sangat membutuhkan kasih sayang, tetapi sang ibu memilih pergi, meninggalkan mereka dan sang ayah dalam kehancuran.
Ramadan 2013 kami mencari ibu yang tak akan kembali
Malam itu, Intan, adiknya dan ayahnya berlari-lari di tengah kampung, mengetuk satu per satu rumah, membangunkan hampir semua orang. Dengan suara gemetar, mereka bertanya “Apakah ada yang melihat Mama?”
Harapan kecilnya sederhana ibunya hanya pergi sebentar dan akan segera kembali. Ia bahkan sudah menyiapkan seragam putih biru untuk masuk SMP, membayangkan akan menggantinya di depan ibunya dengan bangga.
Tapi nyatanya, malam itu menjadi awal dari luka panjang yang tak kunjung sembuh.
Ibunya pergi bersama pria lain. Bukan hanya sekadar orang asing, tapi suami dari kakak ayahnya sendiri.
Pengkhianatan itu menghancurkan mereka semua bukan hanya sebagai keluarga, tetapi juga sebagai manusia yang masih mencoba memahami mengapa orang yang paling mereka cintai bisa tega meninggalkan mereka.
Aku masih kecil, ma.. kenapa pergi?
Hari-hari setelah kepergian ibunya penuh dengan pertanyaan yang tak pernah mendapat jawaban.
Kenapa mereka ditinggalkan? Apakah mereka tidak cukup berharga? Apakah cinta seorang ibu bisa semudah itu menghilang?
Yang lebih menyakitkan, Intan menyaksikan ayahnya perlahan hancur.
Lelaki yang dulu selalu kuat, kini lebih banyak diam, menatap kosong ke depan rumah.
Tidak ada amarah yang meledak-ledak, tidak ada teriakan kesedihan hanya kehancuran yang begitu sunyi, yang semakin terasa menyakitkan.
13 Tahun kemudian, luka itu terbuka lagi
Waktu berlalu, dan Intan belajar untuk menerima bahwa ibunya tidak akan kembali.
Lalu, tanpa disengaja, di bulan Ramadan yang sama, 13 tahun kemudian tepatnya Bulan Maret 2025, Facebook mempertemukannya kembali dengan masa lalu yang selama ini ia coba lupakan.
Facebook merekomendasikan sebuah akun untuk diikuti. Ketika ia membuka profil itu, tangannya langsung gemetar.
Itu ibunya, di sana ada foto-foto penuh kebahagiaan. Ada keluarga baru. Ada dua anak kecil yang mendapat kasih sayang penuh.
Ia membaca unggahan-unggahan ibunya tentang kebahagiaan, tentang kehidupan yang lebih baik. Tapi tidak ada satu pun tentang dirinya atau adiknya. Seakan mereka tidak pernah ada.
“Sakit sekali melihat profilmu sudah berkeluarga dan dikaruniai dua orang anak. Iri sekali melihat kedua anak barumu yang kau bawa ke kolam renang menikmati masa kecil mereka, sementara masa kecil aku dan adik kau pertaruhkan sehancur-hancurnya,” tulisnya di Facebook.
Bukan kebahagiaan ibunya yang menyakitkan, tapi kenyataan bahwa ibunya bisa menjadi ibu yang baik hanya saja bukan untuknya.
Yang membesarkanku justru perempuan yang kau lukai
Ironisnya, orang yang memastikan Intan dan adiknya tetap bertahan bukanlah ibunya. Bukan perempuan yang melahirkan mereka. Tapi justru perempuan yang paling berhak membenci mereka, ya istri dari pria yang kini menjadi suami ibunya.
Dialah yang memastikan Intan dan adiknya tetap sekolah, tetap makan, tetap punya tempat berteduh.
“Jika bukan karena dia, mungkin aku dan adik tidak akan bisa sekolah. Dia yang membesarkan kami, memastikan kami tidak terlantar, meski aku tahu hatinya pasti lebih sakit dari kami,” tulisnya lagi.
Dunia memang penuh ironi. Dan kenyataan pahit ini adalah salah satunya.
Cukup kami yang Hancur, ma… jangan sampai mereka mengalami hal yang sama
Kini, Intan tidak meminta ibunya kembali. Ia tidak butuh lagi jawaban atas semua pertanyaan yang dulu menghantuinya.
Ia hanya ingin satu hal agar anak-anak baru itu tidak merasakan luka yang sama.
“Insyaallah aku ikhlas, Ma. Berbahagialah dan lanjutkan hidupmu. Jangan biarkan anak-anak barumu merasakan luka yang aku dan adik rasakan. Cukup kami yang hancur.” tutupnya.