Dipublika.id – Kemarin pada tanggal 21 Mei 2025, sejumlah media lokal memuat pemberitaan soal keluhan para ASN di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) yang merasa terbebani dengan adanya pungutan dalam rangka perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Bolmut ke-18.
Keluhan ini menjadi perbincangan hangat terutama respons publik dari kalangan elite politik dan sebagian masyarakat.
Ada yang menyindir bahwa “tinggal merayakan saja kok ribut”, ada pula yang secara terang-terangan menyalahkan media karena dianggap memperkeruh suasana. Bahkan, tak sedikit yang tampak terlalu semangat mencari tahu siapa ASN yang bersuara itu.
Yah, wajar jika sebagian pihak geram. Tapi pertanyaannya, apakah mengkritik pungutan tanpa dasar hukum adalah sebuah dosa? Atau kita ini anti kritik?.
Menurutku seharusnya tidak. Bahkan justru kritik semacam itu bagus sebab menunjukkan bahwa kesadaran hukum di kalangan ASN sedang tumbuh dan ini semestinya diapresiasi, bukan dicurigai atau diintai.
Jika dipandang menggunakan logika (cara berfikir yang benar), keluhan para ASN bukan soal membenci HUT atau menolak semangat kebersamaan tetapi mereka hanya menyoroti hal yang perlu disadari yakni tidak ada dasar hukum yang mengatur pungutan dalam rangka HUT kabupaten. Mereka tidak bicara soal “pungli”, tapi mengangkat isu soal prosedur dan akuntabilitas.
Dan ini penting sebab dalam Pasal 23A UUD 1945 menyebutkan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Maka secara analogi, jika pungutan dilakukan untuk kepentingan daerah termasuk kegiatan seremonial seperti HUT maka harus ada dasar yang sah, seperti Perda atau minimal Peraturan Bupati.
Jika tidak ada, maka betul bahwa itu rawan disebut sebagai “pungli”. Masuk akal bukan kritikan tersebut?
Mungkin sebagian orang berkomentar, “Ah, cuma Rp60 ribu saja kok ribut.” Tapi ini bukan soal nominal tapi ini soal prinsip.
Ingat, kalau kita mulai membenarkan praktik yang tak berdasar hukum hanya karena nilainya kecil, maka kita sedang menciptakan celah bagi pelanggaran yang lebih besar. Atau mungkin pelanggaran yang kita pahami itu jika nilainya besar? Yah mungkin seperti dugaan nepotisme anggaran media di Bolmut?.
Dan mungkin juga banyak yang kurang sepakat jadi ayo kita rubah bahasanya jadi gotong-royong saja, tapi yang jadi pertanyaannya apakah bentuk dan caranya itu sudah memenuhi syarat sehingga disebut gotong-royong? Mari kita renungi.
*Harusnya Kritik Ditanggapi Dewasa Seperti Umur Bolmong Utara*
Dalam sistem demokrasi, kritik adalah bagian dari mekanisme kontrol. Terlebih jika disuarakan oleh aparatur negara sendiri.
Mereka bukan lawan, mereka hanya mengingatkan agar praktik administrasi tetap berada di jalur hukum.
Ingat, tidak semua suara berbeda berarti ingin merusak suasana. Tidak semua keberatan adalah bentuk pembangkangan.
Yah, saya sangat berharap pemerintah daerah menanggapi kritikan ASN ini dengan positif dan belajar mendengarkan tanpa terburu-buru melabeli.
Sebab, jika ASN takut bersuara karena khawatir “dicap pembangkang”, maka yang lahir bukan birokrasi sehat, tapi birokrasi yang penuh kepura-puraan.