Dipublika.id – Terinspirasi dari pemikiran Niccolò Machiavelli dalam The Prince, kita percaya bahwa keberanian mengambil keputusanlah yang menjadi tolak ukur pemerintahan yang baik—bukan sekadar panjangnya rapat-rapat yang terus berulang tanpa ujung.
Sebab, rakyat tidak hidup dari rapat-rapat panjang itu, tetapi dari keputusan nyata yang berdampak langsung bagi kehidupan mereka.
Namun, sayangnya, realitas yang saya lihat di DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Boltara) justru seperti sebuah sinetron yang plotnya berputar-putar tanpa klimaks: daftar Ranperda (Rancangan Peraturan Daerah) rutin muncul, penuh janji manis, tapi endingnya selalu digantung—rancangan tetaplah rancangan, tanpa menjadi peraturan yang mengikat.
Setiap masa sidang, kita disuguhkan parade judul Ranperda yang menggiurkan: Pencegahan Stunting, Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin, Penyelenggaraan Kepemudaan.
Judul-judul yang seolah jadi jembatan emas menuju kesejahteraan. Namun, drama legislatif ini berakhir di tumpukan kertas, tak pernah menyentuh denyut kehidupan rakyat.
Sebagai mantan mahasiswa yang pernah meneliti efektivitas fungsi legislasi DPRD Boltara tahun 2020, saya mengamati ironi yang memilukan: dari 11 Ranperda yang diusulkan DPRD pada periode itu, hanya 4 yang lolos disahkan.
Bandingkan dengan eksekutif yang jauh lebih produktif dengan 28 Perda hasil karyanya.
Angka ini bukan sekadar statistik kosong, melainkan potret suram lembaga legislatif yang seharusnya motor demokrasi lokal, justru lebih sering duduk sebagai penonton dalam drama pengambilan keputusan.
Apa penyebabnya? Apakah karena keterbatasan SDM? Kurangnya kajian akademik yang mendalam? Atau persoalan struktural yang menempatkan DPRD sebagai pelengkap drama eksekutif, bukan sebagai pemeran utama?
Kita pun tak asing mendengar Ranperda yang mestinya jadi payung hukum bagi rakyat miskin—justru menjadi “artis tamu” dalam rapat, difoto di media, didengar oleh publik, lalu dilupakan begitu saja.
Ironisnya, sebagian Ranperda yang kembali muncul tahun ini, seperti Bantuan Hukum dan Penyelenggaraan Kepemudaan, bukanlah tamu baru.
Sejak 2017, judul-judul yang sama itu berulang hadir—tapi selalu sebatas rancangan. Seakan rapat demi rapat hanyalah panggung formalitas yang menghabiskan uang rakyat, sementara rakyat masih menunggu kejelasan hukum.
Padahal, jika benar-benar serius, setiap Ranperda dapat menjadi instrumen social engineering yang mengubah wajah daerah secara sistemik.
Misalnya, Ranperda Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin harus menjadi benteng perlindungan hukum yang konkret bagi rakyat rentan dalam persoalan agraria, pendidikan, atau perburuhan.
Begitu pula Ranperda Penyelenggaraan Kepemudaan, bukan sekadar program seremonial yang rutin muncul di agenda, tapi menjadi kerangka kebijakan yang mendorong kreativitas dan pemberdayaan generasi muda, agar mereka tidak hanya menjadi pengisi ruang karaoke di festival.
Namun kenyataannya? Ranperda-ranperda tersebut sering jadi rutinitas formal belaka.
Nama-nama yang sama berputar dari satu masa sidang ke masa sidang berikutnya, namun gagal menetas menjadi Perda yang nyata dan berdampak.
Sinetron legislatif ini seolah menjadi daftar target angka untuk laporan kinerja, bukan wujud perlindungan hukum bagi rakyat yang membutuhkan.
Dalam perspektif rule of law, kegagalan legislasi bukan hanya kegagalan kuantitatif, tapi juga kegagalan memenuhi harapan publik.
Rakyat yang sudah lengah dengan drama legislasi ini tak salah bila kemudian lebih percaya kepada eksekutif, atau bahkan media sosial, untuk menyuarakan masalah mereka.
Ketika DPRD Boltara sibuk berdebat di ruang rapat, rakyat yang di pasar, di kebun, di tepi pantai, tetap menunggu perubahan yang tak kunjung datang.
Celakanya lagi, kita membiarkan uang rakyat habis untuk rapat-rapat tak berujung itu. Anggaran pembahasan Ranperda mestinya menjadi investasi transformasi sosial, bukan sekadar biaya seremoni.
Betapa menyedihkan melihat biaya perjalanan dinas membengkak, sementara hasilnya nihil. Publik hanya bisa mengelus dada atau mengeluh di warung kopi: “Ranperda lagi, Ranperda lagi.”
Saya tidak menuduh semua anggota DPRD sama. Saya percaya ada yang tulus bekerja keras menjalankan fungsi legislasi dengan nurani.
Namun publik tidak bisa hidup dengan asumsi. Publik butuh bukti. Publik butuh Perda yang hidup di pasar, di desa, di lorong-lorong kampung—bukan hanya indah di naskah akademik.
Sebagaimana kata Bung Hatta, “Indonesia merdeka bukan untuk segelintir orang, tetapi untuk semua rakyat.”
Demikian juga Perda: bukan sekadar prestasi dalam lembar evaluasi, melainkan jembatan agar semua mendapat keadilan, kesejahteraan, dan keberdayaan.
Momentum Sidang Paripurna DPRD pada Rabu, 4 Juni 2025—ketika kita melihat daftar panjang Ranperda yang belum disahkan—harus menjadi cambuk bagi DPRD di negeri Boltara.
Jika DPRD tidak ingin dicap sebagai lembaga yang hanya menghabiskan uang negara, sudah saatnya mereka benar-benar memikul amanah legislasi dengan penuh tanggung jawab.
Berhentilah memamerkan daftar Ranperda di setiap masa sidang jika tak ada niat menuntaskannya.
Sudah cukup rakyat disuguhi drama tanpa akhir. Rakyat butuh hasil—keputusan yang berdampak nyata. Karena hukum yang hanya indah di atas kertas, tanpa keadilan di lapangan, hanyalah basa-basi demokrasi.
Jika DPRD ingin meninggalkan jejak berharga, berhentilah menulis rancangan hanya sekadar angka.
Bawalah nurani rakyat dalam setiap keputusan, jangan biarkan rapat hanya jadi gema angan-angan.
Rakyat menunggu bukan naskah berdebu di meja, tetapi tindakan nyata yang mengubah hidup mereka.
Jadilah pelita di gelapnya harap dan asa. Bukan sekadar suara yang hilang dalam jeda.
Sejarah akan mencatat bukan siapa yang terlama bicara. Namun siapa yang berani melangkah memberi makna.
Dan kita semua masih percaya, di balik sidang yang panjang, ada jiwa yang tegar, tak lelah melangkah dan berjuang.
Pasti ada wakil rakyat bijak, penuh asa dan terang. Mereka yang tulus bekerja demi rakyat yang gemilang.
Dengan tekad membara dan semangat membangun, mari jaga amanah, wujudkan mimpi bersama, terus maju.
Sebab, sejarah akan mengukir siapa yang setia berjuang, menjadi pelita hidup bagi rakyat sepanjang masa dan zaman.